
Sungguh sebuah kehormatan dan kebahagiaan, ketika Presiden Jokowi meminta saya agar lebih aktif mengkritik Pemerintah. Ya, saya tidak halu atau salah ketik. Dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI, Senin (8/2), Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif mengkritik kinerja Pemerintah di bidang pelayanan publik: “Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi, dan pelayanan publik harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan,”
Artinya, sebagai anggota masyarakat, saya diminta aktif menyampaikan unek-unek saya terhadap sederet pelayanan publik seperti kantor polisi, kantor pos, bank, rumah sakit, sekolah, kampus, dan masih banyak lagi.
Akan tetapi, kehormatan dan kebahagiaan saya mendadak sirna ketika saya merasakan déjà vu. Dalam acara Indonesian Young Changemaker Summit (IYCS) yang digelar di Bandung pada 2012, Pak Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai Wali Kota Solo, mengatakan bahwa dirinya kangen didemo. Video yang merekam pernyataan tersebut viral pada akhir 2019 dan 2020, ketika terjadi demonstrasi serentak di banyak wilayah. Perasaan kangen didemo itu mestinya terbayarkan ketika mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil lain turun ke jalan menolak revisi UU KPK dan pengesahan Omnibus Law. Pak Jokowi mestinya berterima kasih kepada para demonstran. Tapi kenyataannya, sudahkah para demonstran mendapat perlindungan dan apresiasi? Alih-alih dilindungi dan diapresiasi, mereka justru mendapat represi dari aparat.
Ya, ya, saya mengerti, perasaan kangen didemo itu bisa saja pudar atau bahkan hilang ketika Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Atau, mungkinkah sejak awal pernyataan itu basa-basi belaka, saya tidak tahu. Intinya, kedua pernyataan Pak Jokowi di atas–kangen didemo dan permintaan agar masyarakat aktif mengkritik–memiliki pola yang sama, naif dan utopis. Bukan tidak mungkin jika keduanya hanya basa-basi. Lebih tepatnya, ironi.
Mungkin buzzer akan berkata, “Jangan suudzan, dong!1!1! Pak Jokowi bermaksud baik. Beliau pengin masyarakat menyampaikan kritik yang membangun, agar kinerja pemerintah makin baik!”
Tunggu, “kritik yang membangun”? Benarkah itu yang Presiden kita maksud?
Doktrin “kritik yang membangun” banyak didengungkan pada masa orde baru. Saat itu—dan sampai saat ini—kritik menjelma senjata makan tuan. Mereka yang mengkritik kebijakan Pemerintah akan diserbu dengan nasihat—lebih tepatnya cercaan: “Kritik itu yang membangun, jangan menjatuhkan!”, “Cih, pinter ngritik tapi nggak bisa ngasih solusi,” … Begitulah, pengkritik dibebani dengan tanggung jawab mencari solusi atas persoalan yang ia kritik. Akibatnya, pengkritik sering berada dalam kondisi pengin mengkritik tapi nggak punya solusi … jadi ya udah, deh, diem aja. Mereka yang nekat menyampaikan kritik—yang dinilai—tidak membangun akan berurusan dengan hukum. Syukur-syukur kalau cuma wajib lapor. Kalau sampai tinggal nama?
Nampaknya … memang sudah seharusnya kita gugat doktrin “kritik yang membangun” itu. Pertama, tak ada kritik yang membangun. Menurut KBBI, kritik adalah kecaman atau tanggapan. Tak ada satu kalimat pun di sana yang menyebutkan bahwa kritik itu membangun. Disampaikan dengan cara apa pun, sebuah kritik pasti bersifat menjatuhkan dan membongkar. Kalau kritik harus membangun, bagaimana caranya membongkar sekaligus membangun sesuatu? Sungguh ajaib.
Selain itu, syarat bahwa kritik harus disertai solusi itu juga jelas mengada-ngada. Kritik ya kritik, solusi ya solusi. Keduanya berbeda dan tak harus disandingkan layaknya suami istri. Memberikan kritik tanpa solusi tidak akan membuat sebuah kritik berkurang mutunya. Tugas kita adalah mengkritik, sementara solusinya? Biarlah dipikirkan oleh mereka yang kita kritik. Jika kebetulan kita punya solusi, ya itu bonus. Daripada memikirkan solusi sampai mumet dan ujung-ujungnya batal mengkritik, lebih baik memikirkan dan menjaga agar kritik yang kita sampaikan selalu lugas, tajam, dan to the point. Kritik yang sarat basa-basi, keraguan, dan rasa sungkan justru sangat berbahaya dan berpotensi menyimpang. Kritik yang nanggung dan oleng seperti itu bisa membuat orang lain gagal menangkap maksud kita. Lagi pula, bakal lebih cocok disebut menjilat ketimbang mengkritik.
Kedua, salahkah menyampaikan kritik secara terbuka, di depan umum atau di media sosial? Sebuah kritik acap kali baru akan memiliki kekuatan jika disampaikan dengan cara itu. Ada yang namanya call-out, yaitu menunjukkan kesalahan individu atau kelompok kepada publik, khususnya lewat media sosial. Cara yang satu ini sangat mujarab, terutama untuk mengkritik orang-orang “bandel”. Maka sungguh konyol jika ada orang yang enggan mengakui kesalahannya dan malah balik menasihati pengkritik, “Harusnya kritik saja langsung ke saya secara pribadi ….”
Mengkritik secara terbuka berpotensi lebih besar untuk didengar. Masyarakat belum tentu punya mic untuk bersuara. Ketika mic berhasil didapatkan setelah bersusah payah, masih ada kemungkinan mic itu di-mute (ups) oleh yang berkuasa. Maka masyarakat mengambil jalan pintas, yakni bersuara lewat media sosial. Penyampaian kritik dengan cara ini tidak dapat kita cap sebagai kritik yang tidak membangun atau kritik yang menjatuhkan. Karena, ya … cara itu sah-sah saja. Berbagai syarat dalam menyampaikan kritik (harus membangun, santun, berbobot, melampirkan data, atau solutif) adalah bentuk halus dari antikritik. Lebih barbarnya lagi, orang-orang antikritik seperti ini akan menanyai kita, “Emang kalau ada di posisi saya, situ bisa?”
Kalau kata Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman, sikap antikritik pemerintah tidak hanya menangkap dan menjebloskan ke penjara, tapi juga ditunjukkan dengan adanya buzzer yang bertugas melakukan perundungan terhadap mereka yang menyampaikan kritik di media sosial. Itu orang DPR, loh, ya, yang ngomong.
Ketiga, kritik sudah pasti subjektif karena pemahaman, selera, dan standar kelayakan masing-masing orang berbeda. Standar kelayakan harus memuat argumentasi yang logis dan bisa dipertanggungjawabkan. Ketika hal itu terpenuhi, maka sebuah kritik dapat diterima tidak hanya oleh orang yang dikritik, tetapi juga masyarakat luas. Penilaian yang tidak didasarkan pada hal-hal di atas bukanlah kritik, melainkan ujaran kebencian. Isinya ya caci maki, fitnah, atau hal lain yang mengada-ngada. Kritik tak pernah mengada-ngada. Kritik tak pernah mengada-ngada. Tapi sayangnya, kedua hal ini (kritik dan ujaran kebencian) kerap sengaja disamakan. Terlebih lagi dengan adanya UU ITE. Orang-orang yang kebakaran jenggot karena dikritik jadi punya senjata andalan. Di 2020-2021, ada sejumlah nama penting yang terjerat UU ITE: Said Didu (mantan Sekretaris Kementerian BUMN), Ravio Patra (peneliti), Jerinx (musisi), Marco Kusumawijaya (aktivis lingkungan dan mantan staf Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan), hingga yang terbaru … Novel Baswedan (penyidik KPK).
Berdasarkan laporan Koalisi Masyarakat Sipil, dalam kurun tahun 2016 hingga awal 2020, kasus-kasus pasal 27, 28, dan 29 UU ITE memiliki persentase penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara), dengan tingkat pemenjaraan 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa pihak yang paling banyak dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet tersebut adalah jurnalis, aktivis, dan warga yang kritis. Fakta bahwa saya adalah mahasiswa yang dengan nekat menulis ini, tentu terasa ngeri-ngeri sedap. Meski begitu, jauh lebih nekat Pak Presiden yang request kritik kepada rakyatnya. Mungkin … beliau lupa kalau ada UU ITE.
Intinya semua kritik harus diapresiasi, bagaimana pun cara penyampaiannya. Namun, hal ini sulit dilakukan di negara yang menjamin kebebasan mengkritik, tapi tidak menjamin kebebasan SETELAH mengkritik. Blunder, hadeh … kalau begini caranya, doktrin “kritik yang membangun” ala orde baru itu akan tetap kekal. Kalau Anda golput, oposisi, atau minoritas, jangan coba-coba mengkritik, deh.
*versi suntingan dari tulisan ini telah diterbitkan di website LPM Siar dengan judul Kritik yang Membangun: Sebuah Ironi, Sekali Lagi pada 12 Februari 2021